KusukaNews - Presiden Joko Widodo
akan mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52/1995 tentang Reklamasi
Pantai Utara Jakarta jika Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penanggulangan
Bencana dan Penataan Terpadu Pesisir Ibukota Negara disahkan.
Namun empat pasal dalam Keppres yang diterbitkan rezim Orde Baru
itu akan dipertahankan demi legalitas Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja
Purnama mengizinkan reklamasi 17 pulau.
Empat pasal tersebut yaitu Pasal 4, Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal
12. Keputusan Jokowi untuk mempertahankan empat pasal tersebut terlihat dari
Pasal 17 draf awal Rancangan Perpres.
“Perpres ini mencabut dan menggantikan Keppres 52/1995; Pasal
Keppres yang masih berlaku yaitu Pasal 4, Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 12 akan
diatur dan diintegrasikan dalam kewenangan Badan Penataan,” mengutip draf awal
tertanggal 6 Oktober 2016 yang diperoleh CNNIndonesia.com.
Pasal 4 Keppres 52/1995 menyatakan, wewenang dan tanggung jawab
reklamasi Pantura berada pada Gubernur DKI Jakarta; Pasal 9 berbunyi, areal
hasil reklamasi Pantura diberikan status hak pengelolaan kepada Pemprov DKI dan
dimanfaatkan sesuai rencana pembagian zona kawasan Pantura.
Pasal 11 ayat 1 menegasakan, penyelenggaraan reklamasi Pantura
wajib memerhatikan kepentingan lingkungan, pelabuhan, kawasan pantai berhutan
bakau, nelayan dan fungsi lain di kawasan pantura; ayat 2 menyatakan, bahan
material untuk reklamasi Pantura diambil dari lokasi yang memenuhi persyaratan
teknis dan lingkungan.
Sedangkan Pasal 12 memerintahkan, segala biaya yang diperlukan
untuk reklamasi Pantura dilakukan secara mandiri oleh Gubernur Jakarta bekerja
sama dengan swasta, masyarakat, dan sumber-sumber lain yang sah menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selama ini, Keppres 52/1995 dijadikan satu-satunya acuan
Ahok-sapaan Basuki—untuk memberikan izin reklamasi bagi para pengembang.
Padahal Keppres yang terbit 21 tahun lalu tersebut sudah tidak relevan dan
bertentangan dengan peraturan lain yang hierarkinya bahkan lebih tinggi seperti
Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)—sebelum diubah menjadi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—sempat menyarankan Presiden
RI yang menjabat saat itu untuk segera mencabut Keppres 52/1995.
Saran disampaikan setelah Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim
menetapkan Keputusan Nomor 14/2003 tentang Ketidaklayakan Lingkungan Rencana
Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta.
Penggunaan Keppres 52/1995 juga pernah dibahas dalam Rapat Kerja
Komisi IV DPR dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), 13 April 2016.
Raker yang dipimpin Ketua Komisi IV Herman Khaeron menyatakan,
menerbitkan izin reklamasi lewat Keppres 52/1995 tidak berdasar karena Keppres
sudah dicabut setelah terbit Peraturan Presiden (PP) Nomor 54/2008 tentang
Penataan Ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.
Namun, Perpres tersebut pun lemah lantaran Pasal 70 Perpres itu
tidak secara jelas mencabut Keppres 52/1995. Pasal itu menyatakan, pada saat
mulai berlaku Perpres ini, semua peraturan pelaksanaan dari Keppres 52/1995
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan peraturan
pelaksanaan baru sesuai Perpres ini.
Pakar perkotaan Nirwono Joga bahkan menilai Ahok lucu karena masih
menggunakan Keppres 52/1995 sebagai dasar hukum melegalkan reklamasi. Yudi—sapaan
akrab Nirwono—menyatakan, Keppres yang ditandatangani mendiang Presiden
Soeharto itu bukan untuk meloloskan penerbitan izin reklamasi 17 pulau.
“Lucu itu. Karena pada zaman itu, Keppres terbit bukan untuk 17
pulau. Yang dimaksud reklamasi tahun 1995 itu adalah untuk kegiatan industri,”
kata Yudi kepada CNNIndonesia.com, 13 April 2016.
Yudi menjelaskan, kegiatan industri yang dimaksud yaitu reklamasi
untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok untuk perluasan daratan, yang
konteksnya berbeda dengan menguruk laut seperti yang dilakukan Pemprov DKI saat
ini.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta
Tuty Kusumawati berkeras bahwa Keppres 1995 memang menjadi landasan hukum
Pemprov DKI melakukan dan memberi izin reklamasi Jakarta. Namun Tuty mengakui
memang perlu ada keselarasan antara Keppres 1995 dengan aturan yang terbit
selanjutnya.
Aturan tersebut di antaranya Perpres 54/2008 tentang Penataan
Ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur; dan
Perpres Nomor 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil; dan UU Nomor 27 tahun 2007 sebagaimana diubah dengan UU 1/2014 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Kami ingin, jika ada sebuah kebijakan, harus bisa menjadi pedoman
yang memudahkan kami dalam bekerja, harus jelas kewenangan, hak dan
kewajibannya,” kata Tuty kepada CNNIndonesia.com, 22 Desember 2016.
Sejumlah pasal dalam peraturan soal reklamasi Jakarta memang ada
yang bertentangan satu sama lain.
Pasal 16 nomor 2 Perpres Nomor 122/2012 menyatakan, menteri
memberi izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis
Nasional Tertentu (KSNT), kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan
reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah.
Namun pasal tersebut bertentangan UU Nomor 27 tahun 2007
sebagaimana diubah dengan UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Pasal 50 ayat 1 UU tersebut menyebutkan, menteri berwenang
memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1
dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1 di wilayah
Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi, KSN, KSNT, dan Kawasan
Konservasi Nasional. [cnn]
0 Response to "Jokowi Ngotot Pakai Keppres Rezim Orba Demi Legalitas Ahok Izinkan Reklamasi"
Posting Komentar