Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SUATU hari menteri hukum dan HAM mendapat telepon dari seseorang
yang memberi tahu di Bandara Soekarno-Hatta ada 21 orang asing yang sedang
diinterogasi karena dicurigai masuk secara ilegal. Sang menteri segera meluncur
ke imigrasi bandara untuk memeriksa sendiri.
Kesimpulannya, “Mereka harus dipulangkan, saat itu juga”. Perintah
diberikan, pelaksana di lapangan menyatakan, “Siap, laksanakan”.
Beberapa hari kemudian sang menteri mendapat telepon lagi, diberi
tahu, di sebuah rumah di Jakarta telah digerebek beberapa orang asing yang
menjadi pekerja seks komersial (PSK). Sang menkum-HAM pun meluncur ke tempat
itu untuk memastikan apa yang terjadi dan bagaimana masalah keimigrasiannya.
Setiba di lokasi sang menkum-HAM kaget.
Orang-orang yang digerebek sebagai PSK itu adalah orang-orang yang
sama dengan orang-orang yang beberapa hari sebelumnya dipergoki di Bandara
Soekarno-Hatta dan sudah diperintahkan agar dipulangkan hari itu juga. Jadi,
meskipun aparat di bawahnya menyatakan “siap, melaksanakan” untuk memulangkan
orang-orang asing itu, ternyata rombongan pendatang haram itu tetap masuk ke
jantung Ibu Kota.
Mereka bisa dengan leluasa menjadi tenaga kerja secara ilegal.
Ilegal karena tidak ada izin kerjanya dan ilegal juga jenis pekerjaannya
sebagai PSK. Mungkin Anda penasaran, siapa gerangan menkum-HAM tersebut?
Yang jelas menkum-HAM tersebut bukan menkum-HAM yang sekarang, Pak
Yasona Laoly, tetapi seorang menkum-HAM yang menjabat belasan tahun sebelum
2004. Tidaklah terlalu penting untuk tahu menkum-HAM yang mana itu.
Yang penting diketahui, sebenarnya urusan tenaga kerja asing (TKA)
ilegal itu kalau dari sudut hukum itu sangat simpel, mudah diselesaikan, yaitu
dipulangkan dengan paksa atau dideportasi. Dan, kalau pemerintah melakukan itu,
tidak akan terlibat konflik dengan negara lain karena setiap negara berwenang
untuk memulangkan paksa TKA ilegal.
Negara asal TKA ilegal itu tidak akan bisa mempersoalkannya secara
hukum. Masalahnya hukumnya mudah, tapi penegakannya di birokrasi sering
koruptif.
Harus diyakini pula, kalau berbicara tenaga kerja ilegal, tenaga
kerja Indonesia (TKI) di luar negeri diyakini jauh lebih banyak daripada TKA
ilegal yang masuk ke Indonesia. Tak perlulah menyebut banyak negara, cukup kita
contohkan di dua negara saja, TKI ilegal sudah mencapai jutaan orang.
Ketika pergi ke Malaysia beberapa waktu lalu saya diberi tahu oleh
otoritas resmi, ada lebih dari 2,5 juga WNI di Malaysia dan sekitar 1,4 juta di
antaranya ilegal. Kalau pergi ke Arab Saudi misalnya, kita pun menjadi tahu
bahwa ada ratusan ribu TKI ilegal di sana.
Kita tentu masih ingat pada awal 2000-an Pemerintah Malaysia yang
dipimpin Mahathir Mohammad mengangkut tidak kurang dari 70.000 TKI dari
Malaysia dan menurunkannya begitu saja di Nunukan, Kalimantan Utara karena
mereka bekerja secara ilegal. Kalau pergi ke Arab Saudi, kita juga langsung
tahu ada sebuah rumah tahanan Tarhil Sumaysyi, di Sijjin (di dekat Mekkah) yang
menampung ribuan WNI yang akan dipulangkan secara paksa karena bekerja secara
ilegal di sana.
Secara hukum Indonesia pun bisa melakukan langkah seperti yang
dilakukan Malaysia dan Arab Saudi terhadap TKA ilegalnya. Yakni, tangkap
kemudian adili mereka dan atau pulangkan dengan paksa mereka karena pelanggaran
hukum keimigrasian. Tetapi, problem kita dalam mengatasi persoalan ini terletak
di birokrasi kita yang korup.
Dalam banyak kasus, para TKA ilegal dan agen-agennya itu bekerja
sama secara melanggar hukum dengan oknum-oknum di birokrasi kita. Caranya, bisa
dengan pembiaran paspor palsu, penyalahgunaan visa, penampungan secara gelap,
pemberian izin tanpa wewenang, dan sebagainya.
Contoh simpelnya, ya, pengalaman menkum-HAM kita yang saya
ceritakan di atas. Dia sudah memergoki dan langsung memerintahkan pemulangan
paksa, tapi ternyata TKA ilegal itu masih bisa masuk dengan leluasa ke rumah
penampungan PSK.
Kalau tidak bekerja sama dengan oknum di birokrasi kita, hal
tersebut tidak mungkin bisa terjadi. Jadi, kalau urusan TKA ilegal itu,
penyelesaiannya secara hukum dan prosedural mudah asalkan birokrasi kita ditata
dengan benar.
Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi dan
Saber Punglinya cukup membuktikan betapa virus korup sudah begitu parah
menggerogoti lini-lini birokrasi kita. Pembenahan birokrasi secara cepat dan
tegas, dengan demikian, menjadi salah satu kunci utama untuk mengatasi berbagai
korupsi di negara kita, termasuk korupsi lolos dan amannya TKA ilegal di negara
kita.
Dalam konteks TKA sebenarnya yang juga menjadi masalah penting
adalah TKA yang legal atau dilegalkan melalui persetujuan resmi. Menurut berita
yang belum dikonfirmasi secara resmi, banyak proyek yang sedang dilakukan di
Indonesia sekarang ini yang bahan-bahan atau material dan pekerja-pekerjanya
dibawa dari negara yang berinvestasi di Indonesia.
Mulai dari kayu, semen, paku, pekerja ahli, maupun pekerja kasar
sampai pada tukang sapu, tukang angkat-angkat, dan angkut-angkut dibawa dari
negara yang berinvestasi.
Pekerja-pekerja yang seperti itu bisa “dianggap” legal karena
disetujui oleh dua pemerintah meskipun misalnya TKA yang bersangkutan tak
memenuhi syarat harus bisa berbahasa Indonesia. Menurut hukum, kesepakatan yang
dibuat secara sah mengikat sebagai UU bagi yang membuatnya.
Sebab itu, pihak pengirim TKA legal ini merasa tidak melanggar
hukum apa pun karena dasarnya adalah kesepakatan antardua pemerintah. Masalah
tersebut adalah soal kebijakan (policy), bukan soal hukum.
Pemerintah tentu dihadapkan pada dilema. Kalau kebijakan itu tidak
ditempuh, investor yang cocok tidak akan masuk. Tetapi, kalau kebijakan itu
ditempuh, tenaga kerja kita sendiri hanya menjadi penonton dan tak bisa ikut
menikmati manfaat ekonomi dari proyek itu. Paling-paling, rakyat hanya bisa
berharap dari trackle down effect atau tetesan yang kecil-kecil saja.
Soal TKA legal atau dilegalkan berdasar kebijakan dalam hubungan
dagang ini belum ada penjelasan resmi dari pemerintah, tetapi dalam pembicaraan
dari mulut ke mulut atau di dunia media sosial sudah ramai dibicarakan dan
ditunjukkan fakta-faktanya.
Ada baiknya pemerintah menjelaskan masalah ini secara terbuka.
Dan, oleh karena masalah ini lebih merupakan masalah politik (kebijakan)
daripada masalah hukum, penyelesaiannya harus juga melalui jalur politik. (sn)
0 Response to "Mahfud MD : TKA Ilegal dan TKA Legal"
Posting Komentar