KusukaNews - PELAYANAN publik telah
menjadi simpul loyalitas warga terhadap suatu institusi bernama negara. Banyak
penduduk akhirnya memutuskan berpindah kewarganegaraan atau menjadi pemukim
tetap di negara lain demi mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik.
Setidaknya ada dua cara pandang dalam melihat ruang lingkup
pelayanan publik. Pertama, cara pandang yang menggunakan sifat kepentingan
bersama sebagai kriteria. Penyediaan produk seperti jalan, transportasi umum,
dan rumah sakit adalah pelayanan publik––walaupun disediakan oleh badan swasta
tanpa penugasan dari otoritas publik tertentu.
Kedua, cara pandang yang menggunakan kriteria penyediaan oleh
otoritas publik. Suatu jenis pelayanan oleh badan swasta dinyatakan sebagai
pelayanan publik jika badan swasta tersebut mendapat penugasan dari otoritas
publik. Aliran ini kemudian dikenal sebagai rezim administrasi.
Terlepas dari perbedaan cara pandang tersebut, keduanya meyakini
bahwa akuntabilitas pelayanan publik berpengaruh kuat terhadap kualitas hidup
warga negara. Warga kadang tak mungkin mencari penyedia lain meski kecewa
dengan pelayanan yang diberikan. Tak jarang mereka terpaksa membayar melebihi
ketentuan untuk mendapatkan pelayanan.
Sejarah Akuntabilitas
Penelusuran akademik mengenai akuntabilitas merujuk pada masa
William I yang mensyaratkan para pemilik tanah di wilayah kekuasaannya untuk
menghitung luas tanah milik mereka. Nilai tanah milik warga kemudian ditaksir
dan didaftar oleh para agen kerajaan dalam sesuatu buku perhitungan yang
dikenal sebagai Doomesday Books (Dubnick, 2007).
Dalam perkembangan, beberapa ahli akhirnya berupaya memaknai
akuntabilitas sebagai suatu hubungan antara pemegang kedaulatan dan pelaksana.
Sering juga dikenal sebagai hubungan antara principle dan agent (Bovens,
2008).
Tak mudah mencarikan padanan kata yang tepat bagi kata
akuntabilitas. Di Indonesia akuntabilitas kadang kala diterjemahkan sebagai
pertanggungjawaban, tetapi ada juga yang menyebutnya sebagai tanggung-gugat.
Akuntabilitas memiliki banyak dimensi sehingga digunakan beragam
istilah. Akuntabilitas administratif memastikan pelaksana pelayanan bekerja
sesuai dengan regulasi dan prosedur baku yang telah ditetapkan.
Akuntabilitas sosial memastikan apakah pelayanan yang diberikan
pelaksana memuaskan masyarakat. Adapun akuntabilitas profesi memastikan apakah
pelaksana bekerja sesuai dengan kode etik yang dianut.
Bagi penganut demokrasi, akuntabilitas sosial adalah faktor
penentu agar penyelenggaraan negara tak terjebak pada demokrasi prosedural
semata. Akuntabilitas sosial dalam pelayanan publik diperlukan agar negara
memberikan pilihan terbaik bagi warga sesuai dengan sumber daya yang tersedia.
Paradoks Akuntabilitas
Antardimensi akuntabilitas sering kali saling bertolak belakang
dan saling mereduksi. Dalam taraf tertentu, upaya memacu akuntabilitas
administratif dapat membunuh sikap responsif terhadap masyarakat pengguna yang
justru menjadi tolok ukur utama akuntabilitas sosial.
Fenomena ini kemudian dinamakan sebagai paradoks akuntabilitas
administratif. Beberapa pemikiran untuk mengatasi kecenderungan ini melahirkan
gagasan lama yang dikenal sebagai reinventing government (Osborne, 1992).
Untuk memastikan pelayanan publik menjadi lebih responsif, UU
Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) telah mengatur
agar penyelenggara pelayanan menyepakati standar pelayanan bersama warga.
Selain itu diatur pula mekanisme penanganan pengaduan dan kewajiban melakukan
survei kepuasan masyarakat.
Ombudsman RI pada 2016 menemukan bahwa rata-rata pemenuhan
kewajiban sebagaimana diatur UU Pelayanan Publik masih rendah. Kementerian
mencapai 44% kewajiban, lembaga pemerintah non-kementerian 66,7%, pemerintah
provinsi 33,4%, pemerintah kota 29%, dan pemerintah kabupaten 18%. Semakin
rendah tingkatan pemerintahan, semakin tidak patuh terhadap UU Pelayanan
Publik.
Namun ditemukan juga bahwa 73,15% penyelenggara pelayanan dengan
tingkat pemenuhan tinggi lebih memilih menjalankan standar pelayanan secara top
down, bukan membangun kesepakatan bersama warga seperti yang diatur UU
Pelayanan Publik.
Baru 53,86% penyelenggara pelayanan dengan tingkat pemenuhan
tinggi yang melakukan survei kepuasan masyarakat. Dari yang melakukan, hanya
30,45% yang memublikasikan hasil survei tersebut. Dalam hal aduan masyarakat,
hanya 39,4% penyelenggara dengan tingkat pemenuhan tinggi yang mencatatnya.
Padahal aduan adalah salah satu umpan balik untuk memperbaiki pelayanan.
Paradoks akuntabilitas administratif tampaknya tengah terjadi di
Indonesia. Menteri Sekretaris Negara bahkan menyatakan bahwa situasi pelayanan
publik di negeri ini sudah pada taraf mengerikan (29/10/2016). Terlalu banyak
regulasi yang mengatur sehingga penyelenggara pelayanan disibukkan oleh
pemenuhan kewajiban administratif daripada melayani masyarakat secara cepat dan
memuaskan.
Di sektor publik sering kali penyedia layanan tak memiliki risiko
merugi atau bangkrut meski pelayanan mereka tak memuaskan pengguna. Kebijakan
reformasi birokrasi yang diharapkan dapat menjadi jalan keluar seperti terhenti
sebatas remunerasi, lelang jabatan dan keterampilan menyusun standar prosedur
operasi.
Insentif berbasis kinerja penting, tetapi tantangan ke depan
adalah bagaimana memasukkan kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur utama
kinerja, mendorong menyepakati standar pelayanan bersama warga dan menangani
pengaduan tepat waktu. Peraturan yang mengekang kreativitas penyelenggara mesti
dikurangi. Sungguh suatu pekerjaan rumah yang tak ringan di tengah dominasi
rezim administrasi yang positivistik dan sangat mengandalkan otoritas. (sn)
0 Response to "Rezim Administrasi Gagal"
Posting Komentar